Kidung Sunda

Kidung Sunda adalah naskah asal Bali yang menceritakan tragedi kisah cinta Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka serta perang Bubat yang menyebabkan kematian mereka.

Note: Cerita di bawah ini diambil dari naskah Kidung Sunda dan Serat Pararaton, bukan dari sumber lain seperti Negarakertagama.

Pada tahun 1357, Kerajaan Majapahit mengalami masa kejayaan di bawah kekuasaan Sri Maharaja Rajasanagara atau lebih dikenal dengan sebutan Hayam Wuruk. Hayam Wuruk belum memiliki permaisuri. Kedua pamannya, Raja Kahuripan dan Raja Daha yang sedang berkunjung ke Trowulan (pusat Majapahit) menyatakan rasa keprihatinannya. Maka diutuslah orang-orang kepercayaan ke seluruh penjuru negeri untuk mencarikan putri-putri bangsawan yang sesuai. Mereka kembali membawa lukisan-lukisan putri-putri cantik. Namun, tidak ada satupun yang memikat hati Hayam Wuruk.

wn_hayamwuruk
Hayam Wuruk

Suatu hari terdengarlah kabar bahwa putri Raja Linggabuana dari Kerajaan Galuh-Sunda (Padjajaran), Dyah Pitaloka Citraresmi, memiliki paras yang cantik jelita. Hayam Wuruk mengutus juru lukis ke istana Kawali, ibukota Padjajaran. Setelah juru lukisnya kembali dan memperlihatkan lukisan Dyah Pitaloka dengan sigernya. Hayam Wuruk tertarik untuk meminang sang putri. Disuruhlah orang kepercayaannya, Madhu, untuk meminang.

Raja Linggabuana merasa tersanjung dengan pinangan Maharaja Hayam Wuruk yang ternama. Dia menyetujui pernikahan itu. Atas permintaan Hayam Wuruk, pesta akan dilaksanakan di Trowulan. Maka disiapkanlah ratusan kapal untuk memberangkatkan iring-iringan sang putri. Raja Linggabuana dan sang ratu turut serta membawa serombongan bangsawan Sunda. Sementara itu di Trowulan, Hayam Wuruk mempersiapkan istana menyambut kedatangan calon istrinya.

dyah_pitaloka_citraresmi_by_udayapu-d8a924nBeberapa hari kemudian terdengarlah kabar bahwa iring-iringan Raja Linggabuana telah sampai di pelabuhan Bubat, sebelah utara Trowulan. Hayam Wuruk dan kedua pamannya bersiap menyongsong mereka. Namun, patih kepercayaannya, Gajah Mada, tidak setuju. Ia berkata bahwa tidak seyogyanya seorang Maharaja Majapahit mengambil resiko menyongsong raja biasa. Menuruti saran Patih Gajah Mada, Hayam Wuruk tetap tinggal di Trowulan.

Mendengar kabar ini, Raja Linggabuana mengutus orang kepercayaannya untuk menghadap Gajah Mada. Di sana Gajah Mada mengiginkan supaya kerajaan Padjajaran bersikap layaknya negara-negara tundukan Nusantara Majapahit lainnya. Raja Linggabuana yang mendengar kabar ini tidak bersedia menjadi negara bawahan Majapahit. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur sebagai ksatria daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit.

Ada 2 versi alasan sikap kontroversial Gajah Mada:

  1. Gajah Mada menyangka ini adalah kesempatan emas untuk menguasai tanah Sunda dan memenuhi Sumpah Palapa membangun Nusantara.
  2. Gajah Mada mengetahui bahwa Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka sebenarnya masih saudara dekat (dari keturunan Raden Wijaya), jadi terlarang untuk menikah.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan puluhan ribu pasukannya, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan yang berjumlah kecil (kurang dari 100 orang) serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda.

Hayam Wuruk yang merasa cemas setelah mendengar perang tersebut segera mencari sang putri. Dia menuju ke tenda Dyah Pitaloka hanya untuk menemukan sang putri telah mati. Cerita menyebutkan sang Putri dengan hati berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut ajaran Hindu, tindakan bunuh diri atau puputan dilakukan oleh para perempuan kasta ksatria jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu dilakukan untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Hayam Wuruk pun meratapi kematian calon istrinya. Setelah upacara pemakaman, tidak berselang lama meninggallah Hayam Wuruk yang hancur hatinya.

Penggalan Kidung Sunda, bait 3.29 – 3.33:

Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda Hayam Wuruk, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.

Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda, berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.

Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin hamba masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!

Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.

Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, dia sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan ketiga yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.

Tragic. Hff…

 

Aftermath:

Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sediakala. Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup. Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan Bali dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki “Prabu Wangi” karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

8 thoughts on “Kidung Sunda”

  1. kalau benar semua ini bermula dari masalah pulitik, betapa ironis jika sekarang masih ada yang menganggap pernikahan suku jawa-sunda sebagai sesuatu yang terlarang 😦

    Like

      1. Sebagian orang memang menjadikan hal-hal primordial seperti suku dan agama sebagai pertimbangan. menurutku, itu hak mereka. cuman kalau itu kemudian menjadi penghambat terlaksananya sesuatu yang baik, wew, sayang banget ya 😦

        Like

          1. apa itu ya salah satu alasan kenapa banyak jomblo merajalela? selain salah jokowi, sepertinya itu karena standar budaya masyarakat kita yang kadang gak masuk akal *apasih

            Like

  2. Kisah ini mirip Red Wedding di GOT ya.
    Wuruk dan Pitaloka kurang kenal aja, jadi salah paham, tragis memang ceritanya.
    Kayaknya kesukuan kurang mendefinisikan identitas orang sebagai individu.

    Like

    1. Hi Somebody,

      Kamu benar. Sama-sama tragis.
      Coba mereka dipertemukan langsung lebih awal, mungkin ngga akan kejadian kaya gini.
      Seharusnya kesukuan ngga bisa dijadikan pertimbangan dalam percintaan.
      Rumitnya…

      Like

Leave a comment